Loading...

Belajarlah Merawat Dengan Cinta - Andai Pernikahan itu Sebagai Tanaman

Sponsored Links
.
Loading...
“Ketika baru menikah, bulan madu, ke mana-mana selalu bersama. Kondangan selalu gandengan tangan. Istri terpeleset, bilang “hati-hati”. Begitu sudah punya anak tiga, istri bilang, “Bang, kondangan yuk”. Jawab suami, “Jalan ajah duluan Luh”. Pulang kondangan, istri ngelapor, “Bang, tadi aku kepleset”. Suaminya malah bilang, “Emang mata Luh di mana, sih?” (K.H. Zainuddin MZ)
Kutipan dari ceramah almarhum K.H. Zainuddin MZ, itu sungguh tepat untuk menggambarkan perjalanan mahligai rumah tangga masyarakat kita. Para ahli mengatakan, umur rawan perceraian adalah setelah sepuluh tahun pertama pernikahan. Mulailah intrik dalam rumah tangga terjadi. Jika tak pandai merawat cinta, intrik itu dapat merusak bahtera yang tengah melaju di atas derasnya gelombang samudera kehidupan.
Sesungguhnya, pernikahan yang dibangun karena cinta pada Allah tak akan mudah karam. Dalam rumah tangga itu, cinta laksana air dalam kehidupan, nafas dalam jiwa, semangat dalam raga, lembut dalam sutera. Ia bagaikan panas pada api, dingin pada salju, luas pada angkasa dan ketika surga Allah menjadi pulau impian pasangan suami-istri, bahtera rumah tangga akan selalu riuh dalam keimanan.
Itulah sebabnya, Rasulullah SAW selalu ingat almarhumah Khadijah RA, istri pertamanya, hingga Aisyah RA cemburu “Aku sangat cemburu dengan Khadijah karena sering disebut Rasulullah, sampai-sampai aku berkata: Wahai Rasulullah, apa yang kau perbuat dengan wanita tua yang pipinya kempot itu, sementara Allah telah menggantikannya dengan wanita yang lebih baik?”
Rasulullah SAW menjawab, “Demi Allah, tak seorang wanita pun lebih baik darinya. Ia beriman saat semua orang kufur, ia membenarkanku saat manusia mendustaiku, ia melindungiku saat manusia kejam menganiayaku, Allah menganugerahkan anak kepadaku darinya”.

Manusia yang hidup di alam yang profan ini semestinya merasakan cinta duniawi. Yaitu mencintai anak dan istri (atau suami) sebagai belahan jiwa. Namun demikian, semua cinta itu tak boleh melengahkan manusia dari cinta pada Allah. Allah berfirman, “Katakanlah, Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 24).

Maka, sejarah pun membuktikan, Nabi Nuh AS tak kuasa menahan cinta pada anaknya. Ia memanggilnya untuk bergabung dalam bahtera yang segera berangkat, saat air makin meninggi, gemuruh ombak dan gelombang lautan terus berkejaran menuju bumi yang akan segera tenggelam.
Tapi, segera Allah SWT ingatkan, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya segala perbuatan tidak baik….” (QS. Hud: 46)
Demikian halnya pada pasangan hidup. Dimulai ketika sepasang anak manusia tertarik satu dengan lainnya, Islam mengajarkan segera memulai mahligai rumah tangga. Rasulullah SAW berpesan, “Wahai anak muda, barang siapa di antara kalian sudah mampu (menikah), hendaklah menikah.”
Ikat cintamu. Abadikan pelana hatimu. Simpan permata jiwamu. Proklamasikan belahan kasihmu di atas sajadah ijab-kabul yang disaksikan para malaikat, sambil bersimpuh di hadapan orang tua dan kerabat.

Pernikahan telah menyingkap tabir rahasia pasanganmu. Bagi suami, ternyata istri yang engkau nikahi tidaklah semulia Khadijah RA yang rela berkorban seluruh hartanya untuk dakwah suaminya. Tidak pula setaqwa Aisyah RA yang menutup malam dengan tahajud dan siang dengan infak serta sedekah. Tidak pula setabah Fatimah RA ketika Ali bin Abi Thalib RA, suaminya, membagikan persediaan makanannya untuk fakir miskin, janda dan tawanan perang hingga Allah turunkan ayat sebagai pengabadian cinta mereka, “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS Al-Insan: 9)
Maka, ketika cinta telah terpatri di buku nikah, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk mendoakan sepasang kekasih itu, “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, keberkahan ke atasmu dan mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan”.

Hidup satu atap menjadi ibadah, mencari rezeki ibadah, tersenyum ibadah, bahkan bercumbu pun bernilai sedekah.
Dikisahkan dari Abu Dzar RA bahwa orang-orang mengadu kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, di mana mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka (berkesempatan) menyedekahkan kelebihan harta mereka”.
Rasulullah SAW menjawab, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dapat kalian sedekahkan (juga)? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik adalah sedekah, mencegah dari perbuatan munkar adalah sedekah, bahkan apabila salah seorang di antara kalian menggauli istrinya juga termasuk sedekah”.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang itu melampiaskan nafsunya juga mendatangkan pahala?”
Beliau SAW menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ia melampiaskan nafsunya pada yang haram, bukankah yang demikian itu mendatangkan dosa? Demikian sebaliknya bila ia melampiaskan nafsunya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala”. (HR Muslim).
Suatu kali, mungkin kejenuhan dalam rumah tangga menghampiri. Namun demikian, usahakanlah untuk terus belajar merawat cinta.


Sumber: www.dakwatuna.com 

Sponsored Links
Loading...
loading...
Flag Counter